
MAKASSAR, Newstime.id – Tanggal 19 Oktober 1669 ditetapkan sebagai hari jadi Sulawesi Selatan (Sulsel). Tahun 2022, Sulawesi Selatan memperingati hari jadi yang ke-353.
Usia ratusan tahun ini tidak didasarkan pada pembentukan Provinsi Sulawesi Selatan secara yuridis, melainkan mengacu pada sejumlah peristiwa sejarah. Salah satunya peristiwa sejarah yang menjadi landasan penentuan hari jadi Sulawesi Selatan adalah Perang Makassar yang berlangsung pada 1666-1669.
Mengutip dari arsip Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, perumusan hari jadi Sulawesi Selatan digagas oleh Mayjen TNI (Purn) Haji Zainal Basri Palaguna pada tahun 1993. Saat itu dia menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Gagasan itu kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan studi banding ke beberapa daerah. Kemudian, pada tanggal 18-19 Juli 1995 digelar Tudang Sipulung dalam bentuk seminar di Ruang Pola Kantor Gubernur.
Berdasarkan hasil perundingan dalam forum tersebut, diputuskan rekomendasi berupa 5 rumusan usulan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan terkait hari jadi Sulawesi Selatan. Rumusan itu berpijak pada momentum peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan yang dinilai layak dan pantas menjadi acuan.
Selanjutnya, Gubernur Kepala Daerah bersama staf melakukan pembahasan secara mendalam mengenai rumusan tersebut. Akhirnya tanggal 19 Oktober 1669 ditetapkan sebagai hari jadi Sulsel dengan mengacu pada makna simbolik dari sejumlah momen sejarah dan peristiwa penting di Sulsel.
Perang Makassar 1666-1669
Tahun 1669 yang menjadi tahun peringatan hari jadi Sulawesi Selatan mengacu pada catatan sejarah yang mana tahun tersebut menjadi penanda berakhirnya Perang Makassar. Peristiwa Perang Makassar yang terjadi pada tahun 1666-1669 merupakan bentuk perlawanan masyarakat Makassar dalam menghadapi VOC Belanda.
Dikutip dari jurnal UIN Alauddin Makassar yang berjudul ‘Kondisi Sosial-Politik Pasca Perjanjian Bongaya 1667’, pada tahun 1967 diadakan Perjanjian Bongaya yang dimaksudkan untuk mengakhiri Perang Makassar yang telah memakan banyak korban jiwa dan materi. Perang Makassar berlangsung kurang lebih empat tahun, mulai tahun tahun 1666-1669.
Perang antara Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin dengan VOC Belanda tercatat sebagai perang terbesar dan terberat yang pernah dihadapi VOC Belanda di Asia Tenggara pada abad ke-17. Perang tersebut terjadi karena adanya persaingan kepentingan antara Makassar dan VOC yang sama-sama ingin menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di wilayah timur Nusantara.
Perang yang terjadi saat itu benar-benar menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Makassar, khususnya rakyat Kerajaan Gowa. VOC kala itu menyerang Kerajaan Gowa dari berbagai penjuru, dari selatan, timur, utara, dan barat.
Melihat pederitaan yang dialami oleh rakyatnya, Sultan Hasanudin sebagai seorang raja yang bertanggung jawab atas nasib rakyatnya pun mulai mempertimbangkan untuk berdamai dengan Belanda. Meskipun, sebenarnya dia juga mempunyai keinginan untuk terus berjuang hingga titik darah penghabisan.
Karena mempertimbangkan kondisi rakyatnya, akhirnya Sultan Hasanudin memutuskan untuk berdamai dengan Belanda. Sultan Hasanuddin merasa keputusan berdamai dengan Belanda lebih bijaksana untuk segera mengakhiri penderitaan rakyatnya.
Akhirnya pada tanggal 18 November 1667, sebuah perjanjian perdamaian antara Kerajaan Gowa dengan VOC Belanda ditandatangani di sebuah desa di selatan kota Makassar. Desa yang menjadi tempat penandatanganan perjanjian itu disebut ‘Bungaya’.
Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan yang terkenal dalam sejarah Indonesia dengan nama ‘Perjanjian Bongaya’. Perjanjian ini kemudian dikenal sebagai het bongaais verdrag, yaitu perjanjian Bongaya oleh Belanda, sementara Orang Makassar menyebutnya Cappaya ri Bungaya.
Perang Makassar Kembali Meletus Usai Perjanjian Bongaya
Setelah penandatanganan Perjanjian Bongaya, rupanya Perang Makassar tidak berakhir begitu saja. Sejumlah kelompok yang tidak mengakui Perjanjian Bongaya bertekad untuk terus melawan VOC Belanda.
Perang pun kembali berlanjut, perlawanan terhadap VOC yang dilakukan usai Perjanjian Bongaya dipelopori oleh Karaeng Karunrung yang sejak awal membenci VOC. Dia terus mendesak Sultan Hasanudin untuk melanjutkan perang melawan Belanda.
Pada tanggal 12 April 1668 perang untuk kesekian kalinya antara VOC pimpinan Speelman dan Gowa pimpinan Sultan Hasanudin kembali pecah. Bahkan, disebutkan bahwa perang yang terjadi setelah perjanjian Bongaya lebih besar.
Speelman dalam suatu kesempatan menyurat kepada kepada pimpinan VOC di Batavia. Dia meminta agar pimpinan VOC segera mengirimkan bala bantuan yang cukup agar VOC dapat memberikan pukulan terakhir kepada Kerajaan Gowa dan menjamin perdamaian mutlak
Pada bulan April 1669 pasukan Belanda melakukan serangan secara teratur dan berulang-ulang kepada warga Makassar. Secara berangsur, penyerangan yang dilakukan Belanda mendekat ke Benteng Somba Opu, suasana peperangan pun semakin sengit.
Akhir Perjuangan Sultan Hasanuddin
Pada tanggal 24 Juni 1669, benteng utama dan benteng Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda. Benteng Somba Opu takluk secara terhormat setelah Kerajaan Gowa di bawah kepemimpinan Sultan Hasanudin melakukan perlawanan dengan sangat gigih. Speelman saat itu menawarkan pengampunan kepada mereka yang bersedia bekerja sama dengan Belanda.
Pada tanggal 29 Juni 1669, Sultan Hasanudin mengundurkan diri dari posisi tahta Raja Gowa, posisinya lalu digantikan oleh putranya, Amir Hamzah. Jatuhnya Kerajaan Gowa ke tangan Belanda sekaligus menandai berakhirnya Perang Makassar setelah perjuangan panjang warga Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin.
Sultan Hasanuddin wafat di Gowa pada 12 Juni 1670, setahun setelah turun tahta. Ia meninggal pada usia 39 tahun karena menderita penyakit plasenta.
Sultan Hasanudin menunjukkan semangat yang begitu gigih, dengan gagah berani membela negaranya dari serangan Belanda sampai titik terakhir. Sultan Hasanuddin semasa hidupnya telah memimpin kerajaan Gowa selama 16 tahun, dari tahun 1653 hingga 1669.
Sosok Sultan Hasanuddin sebagai raja yang berani menghadapi kekejaman Belanda membuatnya dikenal sebagai pahlawan nasional yang hebat dalam pandangan masyarakat Indonesia. Begitu juga dalam pandangan orang Eropa, terutama Belanda, dia bahkan dijuluki Ayam Jago dari Timur atas kegigihan perjuangannya.
Sejarah Sulsel Menjadi Bagian Indonesia
Selain merujuk pada sejarah perang Makassar, terdapat 3 peristiwa sejarah lainnya yang turut menjadi dasar hari jadi Sulsel. Yakni tanggal 19 yang digunakan merujuk pada keputusan untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tercatat pada tanggal 19 Agustus 1945, para tokoh dari Sulsel dengan semangat dan antusias, melepas segala atribut kerajaan dan ikut terlibat dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKI).
Sementara bulan Oktober yang ditetapkan sebagai hari jadi Sulsel merujuk pada dua peristiwa sejarah. Yakni kesepakatan para Raja di Kawasan Sulawesi Selatan pada tanggal 15 Oktober 1945 untuk mendukung Dr Ratulangi menjadi gubernur pertama Provinsi Sulawesi.
Serta peristiwa sejarah kedua yakni Rekonsiliasi Raja-Raja bersaudara yang terlibat dalam Perang Makassar. Rekonsiliasi tersebut berlangsung pada bulan Oktober tahun 1674.